Categories

Pemilu secara Tertutup Khianati Amanah Rakyat dan Reformasi

Bismillahirrohmanirrohim

Abdurrahman Anton Minardi
Associate Professor & Advokat

Kabarnya pemilu dengan sistem proporsional terbuka digugat di Mahkamah Konstitusi. Alasannya adalah bahwa sistem ini bertentangan dengan UUD 1945.

Pemilu di Indonesia merupakan proses panjang sampai dengan rakyat dapat memilih langsung perwakilannya di lembaga pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif.

Semenjak awal pemilu di Indonesia dilaksanakan dengan sistem proporsional yaitu dengan membagikan kursi Dewan Perwakilan Rakyat sesuai tingkatannya kepada partai politik.

Akibat dari sistem pemilu model ini adalah menguatnya partai politik dan melemahnya komunikasi politik antara pemilih dengan wakil rakyat, rakyat tidak tahu persis siapa wakil rakyatnya di lembaga perwakilan, sulit membuktikan bahwa rakyat telah memilih anggota Dewan, anggota Dewan juga tidak merasa harus mengaspirasikan rakyat pemilih karena yang memilih mereka adalah partai politik, permainan uang dan bargain politik elit partai tidak terpungkiri, partai politik sangat sulit untuk diaudit publik, bahkan mengakibatkan dukungan rakyat terhadap pemerintah terus melemah.
Hal tersebut diperparah dengan praktek oligarki dimana partai politik dikuasai oleh beberapa tokohnya saja. Bahkan semasa Orde Baru dimana ada 2 partai politik yaitu PPP dan PDI dan Golkar, rezim berkuasa selalu memainkan peran menentukan dalam politik nasional ditandai selalu dengan kemenangan Golkar. Padahal belum tentu benar, apalagi pada masa itu sulit untuk diaudit karena semua pelaksana pemilu adalah pendukung rezim dan pemilihnya terlebih para PNS pun nyaris “dipaksa” untuk memilih Golkar.

Kondisi tersebut terus berlangsung sampai dengan tibanya Orde Reformasi 1998 yaitu masa kejenuhan para pemilih untuk bertahan percaya dengan terpaksa kepada pemerintah.

Pemilu dengan sistem proporsional terbuka secara filosofi memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk membangun pemerintahan yang demokratis, kuat, akuntabel, transparan, bersih dan mendapatkan dukungan rakyat.

Untuk itulah pemilu dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (LUBER JURDIL).

Pemilu dilaksanakan secara sesuai Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Yaitu untuk memilih wakil rakyat baik DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Presiden.

Asas Pemilu LUBER JURDIL inilah merupakan kehendak rakyat untuk memilih wakilnya secara langsung dan terbuka.

Pada ayat (3) memang disebutkan bahwa
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

Ayat ini menunjukkan bahwa partai politik itu posisinya sebagai peserta pemilu DPR dan DPRD. Sementara ayat (4) menjelaskan bahwa peserta pemilu DPD adalah perseorangan.

Itu tidak berarti bahwa sistem pemilu adalah proporsional terbuka karena secara prinsip bahwa rakyatlah yang berkehendak untuk memilih wakilnya bahkan Pimpinan eksekutifnya. Tidak berarti bahwa partai politik yang menentukan para anggota DPR atau DPRD.
Tetapi ayat ini hanya menyatakan bahwa peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik.

Jadi tidak ada kaitannya ayat ini dengan sistem pemilu yang harusnya dilaksanakan secara proporsional tertutup.

Sistem pemilu secara teknis dijelaskan dalam Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bahwa dengan sistem proporsional terbuka memiliki derajat keterwakilan yang lebih baik karena pemilih bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung dan dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya. Pemilih dapat menentukan pilihan calon wakil rakyat berdasarkan nuraninya, figur, akhlak dan prestasinya, begitu pun dengan komitmen perjuangan politiknya untuk rakyat. Bahkan Keterwakilan perempuan pun sangatlah bisa dikontrol dengan pemilu proporsional terbuka ini.

Judicial Review (JR) di MK mengenai UU Pemilu terhadap UUD 1945 tidak pada tempatnya.

Pertama, MK hanya menguji kesesuain atau ketidak sesuaian antara Undang-Undang dengan UUD 1945, sementara kewenangan pengaturan Undang-Undang Pemilu itu ada di DPR.
Kedua, pemohon JR itu individual bukan partai politik yang berhak menjadi peserta pemilu DPR dan DPRD sehingga legal standingnya lemah.
Ketiga, pemikiran untuk mengembalikan sistem pemilu kembali proporsional tertutut adalah suatu kemunduran dan syarat muatan untuk mengembalikan status quo rezim yang sedang berkuasa.
Keempat, kehendak rakyatlah yang menginginkan pemilu secara LUBER JURDIL dimana secara teknis dilakukan dengan cara memilih calon wakil rakyat bukan memilih partai politik agar ada ketersambungan aspirasi dan kejelasan siapa wakil rakyat yang duduk di lembaga DPR, DPRD maupun DPD dan jelas kontrolnya. Termasuk keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat lebih kecil kemungkinnya untuk diwujudkan.
Kelima, perjuangan rakyat yang telah membawa kepada suatu Orde Reformasi agar terwujud pemerintahan yang baik, transparan, bersih, akuntabel adalah suatu amanah. Hal tersebut ditandai dengan sistem pemilu proporsional terbuka. Ketika ada upaya untuk mengembalikan kepada kondisi sebelum reformasi maka itu dapat berarti mengkhianati amanah rakyat dan reformasi.

Para wakil rakyat hasil pemilu proporsional terbuka saja masih sulit untuk dikontrol oleh pemilihnya karena mereka bisa mengklaim bahwa bisa saja penuntut aspirasi itu bukan pemilih dia yang sesungguhnya. Apalagi jika wakil rakyat merasa tidak dipilih langsung oleh rakyat tapi oleh pimpinan partai politik, maka seorang anggota DPR atau DPRD akan lebih loyal kepada pimpinan partainya dibandingkan kepada rakyatnya.